Sejarah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) adalah gerakan Mahasiswa
Islam yang beraqidah Islam bersumber Al-Qur’an dan As-Sunah. IMM
didirikan pada tanggal 29 Syawal 1384 H bertepatan dengan tanggal 14
Maret 1964 M di Yogyakarta untuk waktu yang tidak terbatas.
Kelahiran IMM tidak lepas kaitannya dengan sejarah perjalanan
Muhammadiyah, dan juga bisa dianggap sejalan dengan faktor kelahiran
Muhammadiyah itu sendiri. Hal ini berarti bahwa setiap hal yang
dilakukan Muhammadiyah merupakan perwujudan dari keinginan Muhammadiyah
untuk memenuhi cita-cita sesuai dengan kehendak Muhammadiyah
dilahirkan.
Di samping itu, kelahiran IMM juga merupakan respond atas
persoalan-persoalan keummatan dalam sejarah bangsa ini pada awal
kelahiran IMM, sehingga kehadiran IMM sebenarnya merupakan sebuah
keharusan sejarah. Faktor-faktor problematis dalam persoalan keummatan
itu antara lain ialah sebagai berikut (Farid Fathoni, 1990: 102):
- Situasi kehidupan bangsa yang tidak stabil, pemerintahan yang otoriter dan serba tunggal, serta adanya ancaman komunisme di Indonesia.
- Terpecah-belahnya umat Islam datam bentuk saling curiga dan fitnah, serta kehidupan politikummat Islam yang semakin buruk.
- Terbingkai-bingkainya kehidupan kampus (mahasiswa) yang berorientasi pada kepentingan politik praktis
- Melemahnya kehidupan beragama dalam bentuk merosotnya akhlak, dan semakin tumbuhnya materialisme-individualisme
- Sedikitnya pembinaan dan pendidikan agama dalam kampus, serta masih kuatnya suasana kehidupan kampus yang sekuler
- Masih membekasnya ketertindasan imperialisme penjajahan dalam bentuk keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan
- Masih banyaknya praktek-praktek kehidupan yang serba bid'ah, khurafat, bahkan kesyirikan, serta semakin meningkatnya misionaris-Kristenisasi
- Kehidupan ekonomi, sosial, dan politik yang semakin memburuk Dengan latar belakang tersebut, sesungguhnya semangat untuk mewadahi dan membina mahasiswa dari kalangan Muhammadiyah telah dimulai sejak lama. Semangat tersebut sebenarnya telah tumbuh dengan adanya keinginan untuk mendirikan perguruan tinggi Muhammadiyah pada Kongres Seperempat Abad Muhammadiyah di Betawi Jakarta pada tahun 1936. Pada saat itu, Pimpinan Pusat Muhammadiyah diketuai oleh KH. Hisyam (periode 1934-1937). Keinginan tersebut sangat logis dan realistis, karena keluarga besar Muhammadiyah semakin banyak dengan putera-puterinya yang sedang dalam penyelesaian pendidikan menengahnya. Di samping itu,Muhammadiyah juga sudah banyak memiliki amal usaba pendidikan tingkat menengah.
Gagasan pembinaan kader di lingkungan mahasiswa datam bentuk
penghimpunan dan pembinaan langsung adatah selaras dengan
kehendak pendiri Muhammadiyah, KHA. Dahlan, yang berpesan bahwa dari
kallan nanti akan ada yang jadi dokter, meester, insinyur, tetapi
kembalilah kepada Muhammadiyah (Suara Muhammadiyah, nomor 6 tahun
ke-68, Maret || 1988, halaman 19). Dengan demikian, sejak awal
Muhammadiyah sudah memikirkan bahwa kader-kader muda yang profesional
harus memiliki dasar keislaman yang tangguh dengan kembali ke
Muhammadiyah.
Namun demikian, gagasan untuk menghimpun dan membina mahasiswa di
lingkungan Muhammadiyah cenderung terabaikan, tantaran Muhammadiyah
sendiri belum memiliki perguruan tinggi. Belum mendesaknya pembentukan
wadah kader di lingkungan mahasiswa Muhammadiyah saat itu juga karena
saat itu jumlah mahasiswa yang ada di lingkungan Muhammadiyah betum
terialu banyak. Dengan demikian, pembinaan kadermahasiswa Muhammadiyah
dilakukan melalui wadah Pemuda Muhammadiyah (1932) untuk mahasiswa
putera dan metalui Nasyiatul Aisyiyah (1931) untuk mahasiswa puteri.
Pada Muktamar Muhammadiyah ke-31 pada tahun 1950 di Yogyakarta,
dihembuskan kembali keinginan untuk mendirikan perguruan tinggi
Muhammadiyah. Namun karena berbagai macam hat, keinginan tersebut belum
bisa diwujudkan,sehingga gagasan untuk dapat secara langsung membina dan
menghimpun para mahasiswa dari kalangan Muhammadiyah tidak berhasil
Dengan demikian, keinginan untuk membentuk wadah bagi mahasiswa
Muhammadiyah juga masih jauh dari kenyataan.
Pada Muktamar Muhammadiyah ke-33 tahun 1956 di Palembang, gagasan
pendirian perguruan tinggi Muhammadiyah baru bisa direalisasikan. Namun
gagasan untuk mewadahi mahasiswa Muhammadiyah dalam satu himpunan belum
bias diwujudkan. Untuk mewadahi pembinaan terhadap mahasiswa dari
kalangan Muhammadiyah, maka Muhammadiyah membentuk Badan Pendidikan
Kader (BPK) yang dalam menjalankan aktivitasnya bekerja sama dengan
Pemuda Muhammadiyah.
Gagasan untuk mewadahi mahasiswa dari kalangan Muhammadiyah dalam
satu himpunan setidaknya telah menjadi polemik di lingkungan
Muhammadiyah sejak lama. Perdebatan seputar kelahiran Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah berlangsung cukup sengit, baik di kalangan Muhammadiyah
sendiri maupun di kalangan gerakan mahasiswa yang lain. Setidaknya,
kelahiran IMM sebagai wadah bagi mahasiswa Muhammadiyah mendapatkan
resistensi, baik dari kalangan Muhammadiyah sendiri maupun dari kalangan
gerakan mahasiswa yang lain, terutama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Di kalangan Muhammadiyah sendiri pada awal munculnya gagasan pendirian
IMM terdapat anggapan bahwa IMM belum dibutuhkan kehadirannya dalam
Muhammadiyah, karena Pemuda Muhammadiyah dan Nasyi'atul Aisyiyah masih
dianggap cukup mampu untuk mewadahi mahasiswa dari kalangan
Muhammadiyah.
Di samping itu, resistensi terhadap ide kelahiran IMM pada awalnya
juga disebabkan adanya hubungan dekat yang tidak kentara antara
Muhammadiyah dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Hubungan dekat itu
dapat ditihat ketika Lafran Pane mau menjajagi pendirian HMI. Dia
bertukar pikiran dengan Prof. Abdul Kahar Mudzakir (tokoh Muhammadiyah),
dan dia setuju. Pendiri HMI yang lain ialah Maisarah Hilal (cucu KHA.
Dahlan) yang juga seorang aktifis di Nasyi'atul Aisyiyah.
Bila asumsi itu benar adanya, maka hubungan dekat itu selanjutnya
sangat mempengaruhi perjalanan IMM, karena dengan demikian Muhammadiyah
saat itu beranggapan bahwa pembinaan dan pengkaderan mahasiswa
Muhammadiyah bisa dititipkan metalui HMI (Farid Fathoni, 1990: 94).
Pengaruh hubungan dekat tersebut sangat besar bagi kelahiran IMM. Hal
ini bisa dilihat dari perdebatan tentang kelahiran IMM. Pimpinan
Muhammadiyah di tingkat lokal seringkali menganggap bahwa kelahiran IMM
saat itu tidak diperlukan, karena sudah terwadahi dalam Pemuda
Muhammadiyah dan Nasyi'atul Aisyiyah, serta HMI yang sudah cukup eksis
(dan mempunyai pandangan ideologis yang sama). Pimpinan Muhammadiyah
pada saat itu lebih menganak- emaskan HMI daripada IMM. Hal ini terlihat
jelas dengan banyaknya pimpinan Muhammadiyah, baik secara pribadi
maupun kelembagaan, yang memberikan dukungan pada aktivitas HMI. Di
kalangan Pemuda Muhammadiyah juga terjadi perdebatan yang cukup sengit
seputar kelahiran IMM. Perdebatan seputar kelahiran IMM tersebut cukup
beralasan, karena sebagian pimpinan (baik di Muhammadiyah, Pemuda
Muhammadiyah, Nasyi'atul Aisyiyah, serta amal-amal usaha Muhammadiyah)
adalah kader-kader yang dibesarkan di HMI.
Setelah mengalami polemik yang cukup serius tentang gagasan untuk
mendirikan IMM, maka pada tahun 1956 polemik tersebut mulai mengalami
pengendapan. Tahun 1956 bisa disebut sebagai tahap awal bagi embrio
operasional pendirian IMM dalam bentuk pemenuhan gagasan penghimpun
wadah mahasiswa di lingkungan Muhammadiyah (Farid Fathoni, 1990: 98).
Pertama, pada tahun itu (1956) Muhammadiyah secara formal membentuk
kader terlembaga (yaitu BPK). Kedua, Muhammadiyah pada tahun itu telah
bertekad untuk kembali pada identitasnya sebagai gerakan Islam dakwah
amar ma'ruf nahi munkar (tiga tahun sesudahnya, 1959, dikukuhkan dengan
melepaskan diri dari komitmen politik dengan Masyumi, yang berarti bahwa
Muhammadiyah tidak harus mengakui bahwa satu-satunya organisasi
mahasiswa Islam di Indonesia adalah HMI). Ketiga, perguruan tinggi
Muhammadiyah telah banyak didirikan. Keempat, keputusan Muktamar
Muhammadiyah bersamaan Pemuda Muhammadiyah tahun 1956 di Palembang
menghimpun pelajar dan mahasiswa Muhammadiyah agar kelak menjadi pemuda
Muhammadiyah atau warga Muhammadiyah yang mampu mengembangkan amanah.
Baru pada tahun 1961 (menjelang Muktamar Muhammadiyah Setengah Abad
di Jakarta) selenggarakan Kongres Mahasiswa Universitas Muhammadiyah di
Yogyakarta (saat itu, Muhammadiyah sudah mempunyai perguruan tinggi
Muhammadiyah sebelas buah yang tersebar di berbagai kota). Pada saat
itulah, gagasan untuk mendirikan IMM digulirkan sekuat-kuatnya.
Keinginan tersebut ternyata tidak hanya dari mahasiswa Universitas
Muhammadiyah, tetapi juga dari kalangan mahasiswa di berbagai
universitas non-Muhammadiyah. Keinginan kuat tersebut tercermin dari
tindakan para tokoh Pemuda Muhammadiyah untuk melepaskan Departemen
Kemahasiswaan di lingkungan Pemuda Muhammadiyah untuk berdiri sendiri.
Oleh karena itu, lahirlah Lembaga Dakwah Muhammadiyah yang
dikoordinasikan oleh Margono (UGM, Ir.), Sudibyo Markus (UGM, dr.),
Rosyad Saleh (IAIN, Drs.), sedangkan ide pembentukannya dari Djazman
al-Kindi (UGM,Drs.).
Tahun 1963 dilakukan penjajagan untuk mendirikan wadah mahasiswa
Muhammadiyah secara resmi oleh Lembaga Dakwah Muhammadiyah dengan
disponsori oleh Djasman al-Kindi yang saat itu menjabat sebagai
Sekretaris Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah. Dengan demikian, Lembaga
Dakwah Muhammadiyah (yang banyak dimotori oleh para mahasiswa
Yogyakarta) inilah yang menjadi embrio lahirnya IMM dengan terbentuknya
IMM Lokal Yogyakarta.
Tiga butan setelah penjajagan, Pimpinan Pusat Muhammadiyah meresmikan
berdirinya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah pada tanggal 29 Syawal 1384 H
atau 14 Maret 1964 M. Penandatanganan Piagam Pendirian Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah dilakukan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah saat itu, yaitu
KHA Badawi. Resepsi peresmian IMM dilaksanakan di Gedung Dinoto
Yogyakarta dengan penandatanganan 'Enam Penegasan IMM' oleh KHA. Badawi,
yaitu:
- Menegaskan bahwa IMM adalah gerakan mahasiswa Islam.
- Menegaskan bahwa Kepribadian Muhammadiyah adalah landasan perjuangan IMM
- Menegaskan bahwa fungsi IMM adalah eksponen mahesiswa dalam Muhammadiyah
- Menegaskan bahwa IMM adalah organisasi mahasiswa yang sah dengan mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan, serta dasar dan falsafah negara
- Menegaskan bahwa ilmu adalá amaliah dan amal adalah ilmiah
- Menegaskan bahwa amal WJA aMah lillahi ta'ala dan senantiasa diabdWan untuk kepentingan rakyat.
Tujuan akhir kehadiran Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah untuk pertama
kalinya ialah membentuk akademisi Islam datam rangka metaksanakan
tujuan Muhammadiyah. Sedangkan aktifitas IMM pada awal kehadirannya yang
paling menonjol ialah kegiatan keagamaan dan pengkaderan, sehingga
seringkali IMM pada awal kelahirannya disebut sebagai Kelompok Pengajian
Mahasiswa Yogya (Farid Fathoni, 1990: 102).
Adapun maksud didirikannya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah antara lain adatah sebagai berikut :
- Turut memelihara martabat dan membela kejayaan bangsa
- Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam
- Sebagai upaya menopang, melangsungkan, dan meneruskan
- cita-cita pendirian Muhammadiyah Sebagai pelopor, pelangsung, dan penyempurna amal usaha Muhammadiyah
- Membina, meningkatkan, dan memadukan iman dan ilmu serta amal dalam kehidupan bangsa, ummat, dan persyarikatan.
Dengan berdirinya IMM lokal Yogyakarta, maka berdiri pulalah IMM
lokal di beberapa kota lain di Indonesia, seperti Bandung, Jember,
Surakarta, Jakarta, Medan, Padang, Tuban, Sukabumi, Banjarmasin, dan
lain-lain. Dengan demikian, mengingat semakin besarnya arus perkembangan
IMM di hampir seluruh kota-kota universitas, maka dipandang perlu untuk
meningkatkan IMM dari organisasi di tingkat lokal menjadi organisasi
yang berskala nasional dan mempunyai struktur vertikal.
Atas prakarsa Pimpinan IMM Yogyakarta, maka bersamaan dengan
Musyawarah IMM se-Daerah Yogyakarta pada tanggal 11-13 Desember 1964
diselenggarakan Musyawarah Nasional Pendahuluan IMM seluruh Indonesia
yang dihadiri oleh hamper seluruh Pimpinan IMM Lokal dari berbagai kota.
Musyawarah Nasional tersebut bertujuan untuk mempersiapkan kemungkinan
diselenggarakannya Musyawarah Nasional Pertama Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah pada bulan April atau Mei 1965. Musyawarah Nasional
Pendahuluan tersebut menyepakati penunjukan Pimpinan IMM Yogyakarta
sebagai Dewan Pimpinan Pusat Sementara IMM (dengan Djazman al-Kindi
sebagai Ketua dan Rosyad Saleh sebagai Sekretaris) sampai
diselenggarakannya Musyawarah Nasional Pertama di Solo.
Dalam Musyawarah Pendahuluan tersebut juga disahkan asas IMM yang
tersusun dalam 'Enam Penegasan IMM', Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga IMM, Gerak Arah IMM, serta berbagai konsep lainnya, termasuk
lambang IMM, rancangan kerja, bentuk kegiatan, dan lain-lain.
0 Comments
Jangan lupa tinggalkan komentar yaa :)
Emoji