Oleh: Muhammad Arizal Fahmi

Dewasa ini telah ditiupkan dengan kuat sekali seruan untuk menegakkan kesetaraan gender. Saya sendiri sedikit banyak telah menyimak mengenai Kesetaraan Gender ini, dalam proses saya mempelajarinya sepintas ada cahaya kebenaran di dalamnya, yaitu hendak menyejahterakan wanita, secara garis besar misi yang hendak dibawa dari Persamaan Gender adalah itu, cara paham ini mewujudkan cita-citanya adalah dengan cenderung agar menyamakan hak yang diterima kaum hawa dengan kaum Adam.

Apakah Gender = Jenis Kelamin?. Menurut salah seorang
Dosen di kampus saya menjelaskan bahwasanya Gender tidaklah sama dengan Jenis Kelamin.
Jenis Kelamin merupakan entitas yang bersifat kodrati, misalnya saya, saya dilahirkan dengan memiliki penis, maka itu adalah kodrat yang diturunkan kepada saya bahwa saya adalah laki-laki. Begitu pula sebaliknya.


Gender merupakan idealitas yang diciptakan dari kebudayaan di masyarakat. Misalnya pada suku Sunda Wanita ditempatkan di bawah laki-laki, artinya dalam kehidupan sosial laki-laki lebih memiliki peran yang lebih dominan, kebudayaan ini disebut Patrienial (Mengunggulkan Laki-laki). Contoh selanjutnya adalah di Jawa, khususnya Jawa Pesisir yang merupakan peralihan ke suku Sunda (Brebes, Tegal, Cilacap, Indramayu) masyarakat ini tidak mencenderungkan peran sosial kepada laki-laki ataupun perempuan meskipun tetap saya ada beberapa hal yang memang hanya berhak dilakukan laki-laki, namun sifat mengunggulkan laki-laki tidak begitu kentara. Dan contoh yang terakhir adalah kebudayaan masyarakat Padang yang justru menempatkan kaum Perempuan di atas laki-laki, perempuan diberikan peran sebagai sosok yang dominan di kehidupan sosial, ketika hendak melaksanakan pernikahan, maka dari pihak perempuan harus melamar laki-laki, tidak hanya itu, ketika pernikahan maka pihak perempuan lah yang memberikan mahar, serta menjamin rumah tempat tinggal baru untuk keluarga, kebudayaan ini disebut dengan Matrienial, yaitu idealitas yang mengunggulkan peran perempuan ketimbang laki-laki.

Sebagai manusia yang memiliki rasa peri kemanusiaan tentunya saya mendukung bahwa hak-hak manusia harus diperjuangkan, entah itu untuk perempuan ataupun laki-laki. Dengan mencoba mengenal Kesetaraan Gender ini setidaknya wawasan saya bertambah. Namun sungguh, selama proses saya mengenal paham ini, semakin dalam semakin saja saya temukan hal-hal yang mengganggu pikiran saya. Beberapa hal yang masih mengganggu bagi saya adalah:

Mengapa Cenderung Ingin Menyamakan Hak Perempuan terhadap Laki-laki, dan Bukan Sebaliknya?
Hal inilah yang menjadi pertanyaan awal saya, faktanyanya memang Kesetaraan Gender cenderung hendak menyamakan Hak yang diterima Perempuan terhadap hak laki-laki. Yang saya tanyakan, mengapa harus demikian?, apakah sebelumnya hak perempuan adalah ditindas?.

Untuk menjawab pertanyaan ini tentunya saya harus menyelisik ke tempat di mana paham ini mulai muncul (Khususnya dalam hal Feminisme)
Feminisme sebagai gerakan dapat dilacak dalam sejarah kelahirannya dengan kelahiran era Pencerahan (enlightment) di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda pada tahun 1785. Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood.
Kata feminisme dikreasikan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan center Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, the Subjection of Women (1869). Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama.
Sejarah Gerakan Feminisme ini setidaknya dapat dibagi menjadi dua gelombang, gelombang pertama ditandai dengan adanya masa pencerahan di Eropa. Faktor yang mendorong timbulnya gerakan Feminisme gelombang pertama adalah, dimana mereka merasa ada pemasungan hak-hak mereka baik dalam bidang pekerjaan, sosial, politik, pendidikan, maupun ekonomi dan mempertanyakan kebebasan hak laki-laki yang cenderung menindas. Disamping itu juga adanya fundamnetalisme dalam beragama yang lagi-lagi merugikan perempuan.
Secara umum pada gelombang pertama yang menjadi momentum perjuangannya adalah: gender inequality, hak-hak perempuan, hak reproduksi, hak berpolitik, peran gender, identitas gender dan seksualitas. Gerakan feminisme adalah gerakan pembebasan perempuan dari: rasisme, stereotyping, seksisme, penindasan perempuan, dan phalogosentrisme.
Setelah berakhirnya perang dunia kedua, ditandai dengan lahirnya negara-negara baru yang terbebas dari penjajah Eropa, lahirlah Feminisme Gelombang Kedua pada tahun 1960. Dengan puncak diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen. Pada tahun ini merupakan awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut mendiami ranah politik kenegaraan.
Dalam gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran Algeria yang kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan kelahiran dekonstruksionis, Derrida.
Selama sebelum PD II, banyak pejuang tanah terjajah Eropa yang lebih mementingkan kemerdekaan bagi laki-laki saja. Terbukti kebangkitan semua Negara-negara terjajah dipimpin oleh elit nasionalis dari kalangan pendidikan, politik dan militer yang kesemuanya adalah laki-laki. Pada era itu kelahiran feminisme gelombang kedua mengalami puncaknya.
Gelombang feminisme di Amerika Serikat mulai berkembang pesat pada era perubahan dengan terbitnya buku The Feminine Mystique yang ditulis oleh Betty Friedan di tahun 1963. dan dia juga mendirikan National Organization for Woman (NOW) di tahun 1966 gemanya kemudian merambat ke segala bidang kehidupan. Dalam bidang perundangan, tulisan Betty Friedan berhasil mendorong dikeluarkannya Equal Pay Right (1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama, dan Equal Right Act (1964) dimana kaum perempuan mempunyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang.
Gerakan feminisme yang mendapatkan momentum sejarah pada 1960-an menunjukan bahwa sistem sosial masyarakat modern dimana memiliki struktur yang pincang akibat budaya patriarkal yang sangat kental. Marginalisasi peran perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya ekonomi dan politik, merupakan bukti konkret yang diberikan kaum feminis.
Gerakan perempuan atau feminisme berjalan terus, sekalipun sudah ada perbaikan-perbaikan, kemajuan yang dicapai gerakan ini terlihat banyak mengalami halangan. Di tahun 1967 dibentuklah Student for a Democratic Society (SDS) yang mengadakan konvensi nasional di Ann Arbor kemudian dilanjutkan di Chicago pada tahun yang sama, dari sinilah mulai muncul kelompok "feminisme radikal" dengan membentuk Women´s Liberation Workshop yang lebih dikenal dengan singkatan "Women´s Lib". Women´s Lib mengamati bahwa peran kaum perempuan dalam hubungannya dengan kaum laki-laki dalam masyarakat kapitalis terutama Amerika Serikat tidak lebih seperti hubungan yang dijajah dan penjajah. Di tahun 1968 kelompok ini secara terbuka memprotes diadakannya "Miss America Pegeant" di Atlantic City yang mereka anggap sebagai "pelecehan terhadap kaum wanita dan komersialisasi tubuh perempuan". Gema ´pembebasan kaum perempuan´ ini kemudian mendapat sambutan di mana-mana di seluruh dunia.
Pada 1975, "Gender, development, dan equality" sudah dicanangkan sejak Konferensi Perempuan Sedunia Pertama di Mexico City tahun 1975. Hasil penelitian kaum feminis sosialis telah membuka wawasan jender untuk dipertimbangkan dalam pembangunan bangsa. Sejak itu, arus pengutamaan jender atau gender mainstreaming melanda dunia.
Memasuki era 1990-an, kritik feminisme masuk dalam institusi sains yang merupakan salah satu struktur penting dalam masyarakat modern. Termarginalisasinya peran perempuan dalam institusi sains dianggap sebagai dampak dari karakteristik patriarkal yang menempel erat dalam institusi sains. Tetapi, kritik kaum feminis terhadap institusi sains tidak berhenti pada masalah termarginalisasinya peran perempuan. Kaum feminis telah berani masuk dalam wilayah epistemologi sains untuk membongkar ideologi sains yang sangat patriarkal. Dalam kacamata eko-feminisme, sains modern merupakan representasi kaum laki-laki yang dipenuhi nafsu eksploitasi terhadap alam. Alam merupakan representasi dari kaum perempuan yang lemah, pasif, dan tak berdaya. Dengan relasi patriarkal demikian, sains modern merupakan refleksi dari sifat maskulinitas dalam memproduksi pengetahuan yang cenderung eksploitatif dan destruktif.
Berangkat dari kritik tersebut, tokoh feminis seperti Hilary Rose, Evelyn Fox Keller, Sandra Harding, dan Donna Haraway menawarkan suatu kemungkinan terbentuknya genre sains yang berlandas pada nilai-nilai perempuan yang antieksploitasi dan bersifat egaliter. Gagasan itu mereka sebut sebagai sains feminis (feminist science).
http://labibsyauqi.blogspot.com/2013/11/kesetaraan-gender-dan-gerakan-feminisme.html

Jadi saya menyimpulkan bahwa kecenderungan yang lebih dominan menyamakan hak Perempuan terhadap Hak Laki-laki ini dipengaruhi kuat oleh kondisi sosial asal muasal daerah paham ini muncul.

Mengapa Cenderung Hendak Menyamakan Hak, dan menyingkirkan Kewajiban?
Ini pertanyaan kedua saya, faktanya sependek yang saya tangkap dari Kesetaraan Gender memang begitu, bahwa apa yang diserukan oleh Kesetaraan Gender adalah persamaan hak. Padahal, Hak merupakan sesuatu yang pantas didapatkan oleh seseorang setelah ia menunaikan kewajiban. Misalnya seorang pegawai, setelah ia bekerja selama sebulan penuh, maka ia berhak mendapatkan gajih dari perusahaan atau kantornya, artinya antara kewajiban dan hak adalah sesuatu yang saling bersambung yang tidak bisa hanya mengangkat salah satunya dan meninggalkan yang lain.

Maka, jika kecenderungan Kesetaraan Gender hendak menyamakan hak Perempuan dengan Laki-laki, bukankah akan menimbulkan konsekuensi bahwa kewajiban Perempuan pun harus disamakan dengan Laki-laki?. Tidak patut dan tak adil rasanya jika hanya memperjuangkan Hak Wanita agar sama dengan laki-laki namun dalam hal kewajiban ia tidak disamakan.

Tujuan Kesetaraan Gender konon hendak menciptakan keadilan idealitas antara Laki-laki dengan Perempuan, namun dalam pelaksanaanya justru menimbulkan ketidakstabilan antara hak dan kewajiban, bukankah ini aneh?.

Dapatkah antara Laki-laki dan Perempuan Disetarakan?
Ini pertanyaan saya selanjutnya, bahwa “Memangnya bisa jikalau Laki-laki dan Perempuan secara sempurna disamakan?”.
Jikalah memang berhasil ditegakkan paham Kesetaraan Gender, siapkah antara perempuan dan laki-laki bertugas, bersikap, dan mendapatkan hasil yang sama?.
Secara Biologis, seperti yang kita ketahui bahwa, antara Perempuan dan Laki-laki adalah berbeda, hal ini mungkin termasuk ketegori jenis kelamin yang kodrati dan bukan merupakan wilayah gender, namun, saya yakin bahwa faktor biologis akan berpengaruh besar terhadap pergerakan dan mobilitas individu.

Laki-laki diciptakan dengan kemapuan otot yang besar, ia memiliki tenaga yang lebih kuat daripada perempuan, maka dari itu ia lebih pantas untuk ditempatkan pada bidang kegiatan atau pekerjaan yang membutuhkan banyak tenaga. Lalu bagai mana jika hal ini harus disamakan dengan perempuan?, bukankah hal ini akan merugikan pihak perempuan?. Artinya Perempuan harus mengurangi ketergantungan mereka pada sesuatu yang bersifat fisik. Padahal mereka secara lahirian tidak memiliki kekuatan yang sama dengan laki-laki, bagaimana hal ini hendak disamakan?

Secara Psikis, faktanya antara Perempuan dan Laki-laki memiliki psikis yang berbeda, dan perbedaan ini tentunya akan berimbas besar terhadap perilaku, sifat, dan sikap di antara keduanya. Perempuan dikenal memiliki jiwa perasa yang kuat dibandingkan laki-laki yang cenderung menggunakan logika dalam bertindak. Lalu jika Gender hendak disamakan tentu saja ranah psikis ini akan terbawa, artinya dalam kehidupan sosial tentu saja Laki-laki tak perlu khawatir jika harus blak-blakan membentak wanita, tentunya hal ini sekali lagi, akan merugikan pihak perempuan.

Bagaimana jadinya jika Kesetaraan Gender jika Diterapkan di Indonesia?.
Kesetaraan Gender boleh dibilab adalah hal baru yang tengah ditiupkan di Indonesia, saat datangnya paham ini tentu saja bangsa Indonesia saat itu telah memiliki kebudayaan tersendiri dan telah terbentuknya gender masing-masing, mulai dari Patrienial, Matrienial, atau Bilateral. Dan dengan datangnya Kesetaraan Gender ia dipandang seolah adalah paham yang paling benar, dan berusaha menghapus idealitas gender yang telah terbentuk. Yang membuatku masih bertanya-tanya kepada pra penyeru Kesetaraan Gender adalah, mengapa harus berusaha menghilangkan idealitas setempat dengan memandang bahwa salah satu jenis kelamin mengalamin penindasan hak dan memandang seolah Kesetaraan Gender adalah solusi terbaik?, bukankah munculnya kesetaraan Gender terikat kuat dari kebudayaan daerah asalnya? Lalu kenapa harus dipaksakan harus diterapkan di Indonesia?.

Untuk masyarakat Eropa atau Amerika mungkin bisa saja paham ini ditegakkan, boleh jadi itu memang cocok dengan kebudayaan dan peradaban mereka, namun kenapa harus sebegitu bulatnya harus di terapkan di Indonesia?.

Saya rasa para penyeru Kesetaraan Gender ini, menyuarakan agar tidak terkurung dalam idealitas budaya setempat, namun solusinya dalah dengan memasukan paham gender dari kebudayaan lain. Bukankah ini seperti, menyeru orang untuk keluar dari kadang macan, tapi setelah ia keluar malah dimasukkan ke dalam kandang singa?.

Rasanya masyarakat Indonesia telah terjajah dalam hal “standar kebenaran”, standar kebenaran yang saat ini diterapkan adalah sesuatu  yang dianggap budaya barat adalah benar.

Indonesia bukanlah Negara tanpa budaya, sebelum idealitas Kesetaraan Gender ini mulai naik daun Indonesia telah memiliki idealitas tersendiri, dan itu telah menciptakan kestabilan sosial yang begitu lama, maka ketika masuknya Kesetaraan Gender ini justru merusak kestabilan tersebut, dimana Kesetaraan Gender ini menyebutkan seolah pihak perempuan adalah tertindas, maka jika paham ini ditiupkan ke pada masyarakat patrienial tentu akan memunculkan pemberontakan sosial dari kaum perempuan, dan jika ditiupkan kepada masyarakat matrienial tentunya akan semankin mengucilkan peran laki-laki dalam kehidupan sosial.

Jadi yang hendak saya simpulkan bahwa masih terdapat keraguan saya terhadap Kesetaraan Gender dalam hal pelaksanaannya apalagi jika diterapkan di Indonesia yang memiliki idealitas gender yang beragam. Tak perlu rasanya mengubah idealitas budaya setempat agar dipaksakan untuk menganut sistem Kesetaraan Gender, bukan saya menolokanya, namun saya rasa Kesetaraan Gender ini tidak bisa mentah-mentah ditelan dan dikenakan sebagai idealitas suatu bangsa.

Dalam Islam, antara Perempuan mapupun Laki-laki adalah sama dihadapan Allah, yang membedakan hanyalah ketakwaannya, namun Allah memberikan kelebihan bagi kaum Laki-laki ataupun Perempuan pada bidangnya masing-masing, lalu bagaimana mungkin akan disamakan sedangkan di antara keduanya secara terlihat memiliki perbedaan dan kelebihan kekurangan masing-masing?.

Kekhawatiran saya selanjutnya adalah, mempertanyakan bagaimanakah praktik langsung dari paham ini. Secara teoritis adalah benar bahwa Kesetaraan Gender memperjuangkan hak hidup semua manusia agar sama dan setara, namun bagaimanakah kondisi real masyarakat setempat yeng menerapkan paham ini?. Bukan maksud saya takut akan tersaingi perannya dengan kaum Perempuan, hanya Saya khawatir Kesetaraan Gender ini hanyalah manis teoritis belaka, namun pahit dalam pelaksanaannya, karena pada implementasinya justru tanpa di sadari akan merugikan pihak Perempuan.